Pembinaan Teknis Penyusunan Dokumen Rencana Pemulihan Ekosistem Gambut pada Areal Usaha dan/atau Kegiatan Perkebunan
Dalam penangan kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, Presiden Joko Widodo secara tegas memberikan arahan kepada seluruh pelaksana pemerintahan bahwa penangan kebakaran hutan dan lahan harus dilakukan secara terarah dan terintegrasi. Dalam amanahnya, khususnya terkait dengan lahan Gambut, Presiden menekankan bahwa semua hal yang berkaitan dengan Ekosistem Gambut harus betul-betul dilakukan corrective action dan diubah penanganannya. Salah satu langkah yang dilakukan yaitu moratorium perizinan baru di lahan Gambut, baik untuk kegiatan kehutanan maupun kegiatan perkebunan.
Upaya terpadu dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di Ekosistem Gambut yang dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah antara lain:
- Penekanan dan pengendalian kebakaran di lahan gambut dengan semua upaya yang memungkinkan dilakukan, diantaranya: waterbombing, re-wetting, sekat kanal, pembangunan bendungan kecil, dan sumur dalam;
- Penegakan hukum yang melibatkan sanksi administratif, hukum perdata dan hukum pidana;
- Mempromosikan pencegahan dengan cara pengelolaan dan tata kelola lahan gambut;
- Area yang terbakar di konsesi (private sector) harus dikendalikan oleh pemerintah.
Menindaklanjuti arahan Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan berbagai upaya terarah dan terpadu untuk melaksanakan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut, sehingga diharapkan terwujud Ekosistem Gambut yang lestari. Setelah ditetapkannya Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 71 Tahun 2014 Juncto Peraturan Pemerintah RI Nomor 57 Tahun 2016. serta peraturan turunannya yaitu Peraturan MENLHK Nomor 14, 15, 16, dan 17/2017 dan PERDIJEN PPKL No. 3, 4, 5, 9 dan 10/2018. Peraturan Pemerintah beserta paraturan organiknya tersebut difokuskan untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Pelaksanaan dari kebijakan tersebut di atas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan pada Tahun 2017 telah menerbitkan surat perintah pemulihan terhadap 225 Perusahaan Perkebunan dan 100 Perusahaan Hutan Tanaman Industri yang berada pada Ekosistem Gambut. Surat perintah pemulihan tersebut telah ditindaklanjuti oleh 167 Perusahaan HTI dan Perkebunan dan saat ini telah ditetapkan sebanyak 8.514 unit titik penaatan tinggi muka air tanah Manual dan 828 unit titik penaatan tinggi muka air tanah otomatis serta 560 titik stasiun pemantauan curah hujan. Saat ini telah terbangun sebanyak 16.546 unit sekat kanal dan 7.726 unit sekat kanal dalam perencanaan sampai dengan Tahun 2026.
Luas area Ekosistem Gambut yang berada pada area perusahaan yang mengalami pemulihan, baik pemulihan fungsi hidrologis maupun pemulihan vegetasi seluas 2.589.213,98 hektar.
Berdasarkan data pengukuran tinggi muka air tanah yang dilaporkan oleh perusahaan secara rutin, baik pada perusahaan HTI maupun perkebunan, secara umum menunjukkan hasil yang cukup memuaskan meskipun berbagai upaya perbaikan harus tetap untuk mencapai tinggi muka air tanah 0,4 cm sebagaimana ditetapkan dalam peraturan.
Berdasarkan data yang ada, jumlah izin di Perkebunan maupun Hutan Tanaman Industri yang berada pada Kesatuan Hidrologis Gambut sejumlah sekitar 600 izin yang telah diterbitkan. Jumlah tersebut secara berangsur-angsur akan mendapat surat perintah pemulihan seluruhnya. Hari ini Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Dirjen PPKL) menerbitkan kembali surat perintah pemulihan tahap ke-2 kepada 147 Perusahaan Perkebunan yang tergabung dalam grup perusahaan untuk bersama-sama melakukan perbaikan pengelolaan Ekosistem Gambut.
Dari 147 perusahaan Perkebunan tersebut potensi luasan Ekosistem Gambut yang akan dipulihkan seluas 1.070.940 hektar.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.130/MENLHK/SETJEN/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, bahwa Indonesia memiliki 865 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dengan luas 24,7 juta hektar yang terdiri atas 12.4 juta hektar di fungsi lindung dan 12.3 juta hektar. KHG tersebut, termasuk lahan Gambut di dalamnya, tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Penetapan peta fungsi Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung dan fungsi budidaya, merupakan dasar untuk menyusunan dan menetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional yang diintegrasikan dengan RPPJM untuk tingkat Nasional dan RPJMD untuk tingkat daerah serta untuk perubahan tata ruang, serta Pelaksanaan pemulihan Ekosistem Gambut yang rusak.
Pemulihan Ekosistem Gambut yang rusak menjadi tanggung jawab bersama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dirjen PPKL, Pemerintah Daerah provinsi dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota berkewajiban untuk melakukan pemulihan Ekosistem Gambut, khususnya pada areal yang tidak berizin atau lahan masyarakat.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Ditjen PPKL) sedang melakukan upaya pemulihan ekosistem gambut dengan target setiap tahunnya meningkat, pelaksanaan pemulihan dilakukan melalui upaya perbaikan tata kelola air gambut (restorasi fungsi hidrologis) dengan pembuatan sekat kanal dan pembentukan kemandirian masyarakat yang tujuan agar masyarakat mempunyai pemahaman tentang pelestarian hutan gambut dan pemahaman pemanfaatan lahan Gambut yang benar apabila melakukan aktifitas di kawasan gambut.
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut yang berbasis masyarakat, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Ditjen PPKL) pada saat ini telah melaksanakan pemulihan dengan skema pemberdayaaan masyarakat di 7 Provinsi dengan 29 Kabupaten. Pemulihan fungsi hidrologis pada area masyarakat (area yang tidak dibebani izin) dengan capaian pemulihan seluas 7.305 hektar melalui pemasangan 310 sekat kanal dan kegiatan pemberdayaan masyarakat.